Wednesday, August 22, 2007

Selamanya (2007)

jangan kaget dengan nama production house yang menaungi film ini. gue sendiri sempet underestimate film ini karena melihat nama penulis skenarionya, Sekar Ayu Asmara yang melahirkan film sekelas Pesan Dari Neraka, dan juga produser film ini, Raam Punjabi, yang notabene adalah penjahat kelas nasional karena telah menghancurkan bangsa ini dengan memberikan tontonan televisi murahan dan tidak mendidik, di bawah bendera Multi Vision yang benar-benar tidak bervisi. namun setelah gue melihat reviewnya di website kebanggaan kita bersama, sinema-indonesia.com, yang dengan beraninya memberikan tiga bintang untuk rating film ini, gue jadi berpikiran lain lagi, oleh karena situs tersebut kebanyakan mencerca film-film indonesia, dan yang diberi bintang bisa dihitung dengan jari.

ternyata benar dugaan gue. bukan sekedar sugesti dari situs tersebut, film ini memang memberikan sesuatu yang lain, meskipun ceritanya cukup corny dan akting beberapa pemainnya betul-betul sinetron-ish dan tidak bisa dimaafkan begitu aja. lihat aja si Dimas Seto itu. bisa apa sih dia di film ini? sepertinya sinetron udah menjadi tempat yang terbaik buat dia.

kalau mau jujur, sebetulnya plot cerita Selamanya hanyalah sebuah perpaduan sempurna dari film ternista Heart, dan slogan "Jauhi Narkoba!" (di Cianjur, bahasa Inggris slogan ini adalah "Hide Drug!"). namun yang membuat film ini lain dan terangkat derajatnya adalah kualitas penggarapannya yang rapi dan catchy, serta akting Julie Estelle dan Masayu yang sangat mencuri perhatian dan patut diacungi jempol.

sejatinya, Selamanya bercerita tentang sepasang kekasih, Aristha dan Bara yang telah terpisah lama, dan kemudian dipertemukan kembali dalam keadaan masing-masing yang bertolak belakang. Aristha adalah pecandu narkoba akut yang sedang berjuang mempertahankan hidupnya, sementara Bara adalah mantan pecandu yang kini bekerja sebagai konsultan di salah satu panti rehabilitasi narkoba dan sedang mempersiapkan pernikahannya dengan kekasih barunya.

mungkin sebagian dari kita setelah membaca premise tersebut akan berpikir, film ini jadinya terkesan menggurui dan cengeng. jangan salah dulu, karena setelah menonton, pendapat gue justru berbeda 180 derajat; film ini memang menggurui dengan 'slogan'nya tersebut, dan cengeng dengan segala air mata dan teriak-teriak umpatan Aristha, namun semua itu dikemas dengan sangat menarik sehingga elemen-elemen tersebut dapat dilupakan. untuk ini, sang sutradara, Ody C. Harahap, beserta tim kreatifnya patut berbangga. sinematografi yang ciamik dan editing yang oke banget (namun sayangnya di beberapa bagian terlihat putus-sambung, kemungkinan karena tindakan pemotongan oleh badan sensor kurang ajar itu) menjadi titik terang film ini.

gak hanya itu, kualitas akting Julie Estelle pun betul-betul mengalami penigkatan drastis di film ini. teriakan-teriakan umpatannya terasa begitu nyata dan gak dibuat-buat. beda banget dengan teriakan "babi loe!" milik Luna Maya di Pesan Dari Surga. demikian halnya dengan Masayu, aksinya sebagai penari striptease dengan berbagai kostum merupakan hal yang langka dan tidak dapat kita simak melalui layar kaca.

namun sayangnya, di film ini masih terdapat beberapa hal yang cukup mengganjal dan terkesan gak mungkin banget, seperti bagaimana mungkin dengan pekerjaan Bara sebagai konsultan narkoba dan kakaknya yang penari, mereka berdua mampu membeli rumah mewah dengan kolam renang? (mungkin rumah itu peninggalan orang tua mereka? atau sang art director tidak mampu menemukan lokasi yang pas, selain stok alamat rumah yang diberikan Raam yang biasa dipakai di sinetron-sinetronnya?), dan juga mengapa Bara yang awalnya hanya pecandu malah dipenjara, sementara Aristha yang pengedar dan seharusnya mendapatkan hukuman lebih berat malah hanya melewatkan beberapa jam saja di kantor polisi? oh well, kesan sinetron memang masih gak bisa lepas juga dari film ini. damn you, Raam!

kesimpulannya, film ini memang bukan film Indonesia terbaik untuk tahun ini, namun sepertinya film ini lebih patut dilirik ketimbang Bukan Beha Biasa (atau kami menyebutnya Bella Bagusan Bugil), dan film-film menyedihkan lainnya. at least film ini masih patut untuk ditonton.

Pemain: Julie Estelle, Dimas Seto, Masayu Anastasia
Penulis: Sekar Ayu Asmara
Sutradara: Ody C. Harahap
Produksi: Multi Vision Pictures
Negara: Indonesia
Durasi: 90 menit

read more...

Saturday, August 18, 2007

No One Wants to be Alone!

akhirnya niat gue selama ini buat nonton midnight di Jakarta kesampaian juga. gak tanggung-tanggung, film yang menjadi tontonan adalah film horror! tadinya gue bareng teman-teman gue berniat nonton double feature Alone + Shutter yang dihadiri dua orang sutradaranya dan bintang utama Alone. namun apa daya, teman-teman gue semuanya tipe last-minute, jadinya untuk double feature tersebut kehabisan tiket, dan kita hanya bisa mendapatkan sesi pemutaran kedua Alone malam itu, yakni pukul 10.45. cukup kecewa sih, mengingat pemutaran double feature dilakukan di auditorium terbesar Blitz, sementara sesi yang kita datangi hanya berada di auditorium regular.

Alone mengisahkan tentang sepasang saudara kembar siam, Pim dan Ploy yang memiliki sifat yang bertolak belakang. sayangnya kebersamaan mereka harus berakhir di atas meja operasi, lantaran salah satu dari mereka tidak selamat dari operasi pemisahan. bisa ditebak, selanjutnya teror-teror menghantui kembar satunya, seakan tidak rela mereka dipisahkan begitu saja.

jika ditilik dari keseluruhan plot, film ini sebetulnya cukup unik dan cenderung berani dalam memainkan alur cerita. twist yang disajikan pun sangatlah pintar. namun sayangnya, hal tersebut yang seharusnya menjadi kekuatan terbesar dalam film ini malah seakan menjadi kelemahan terbesar, lantaran sudah pasti ekspektasi sebagian penonton setelah menonton film ini akan menurun.

sudah pasti sebuah film horror belum afdol kalau gak ada momen-momen terkejutnya. begitu pula dalam film ini, tiga perempat awal film ini pun dipenuhi oleh berbagai shocking scenes, sampai-sampai seisi penonton gak henti-hentinya berteriak. namun sayangnya sebagian besar dari momen-momen tersebut seakan bisa ditebak, mengurangi ketegangan, namun masih bisa dimaafkan dengan pengaturan jump cuts dan musiknya. juga, kalau kita membuka mata kita lebar-lebar dalam menonton keseluruhan film ini tanpa sedetikpun mengedipkan mata atau bersembunyi ketakutan, sebetulnya plot twist yang disajikan di film ini bisa ditebak dengan mudahnya.

secara keseluruhan, untuk ukuran film horror film ini cukup mengecewakan oleh karena semua keterkejutan yang dihasilkan pada akhirnya menjadi tidak berkesan. belum lagi dengan cara penayangan Blitz yang seringkali mempermainkan penglihatan para penontonnya dengan menarik-narik film ke atas berulang kali untuk menayangkan teks bahasa Indonesianya , yang makin menambah kekecewaan kami para penonton. tapi jika dibandingkan dengan film-film horror cupu buatan dalam negeri, film ini jaaauhhh lebih nendang. lihat saja sendiri keseluruhan aspek film ini, mulai dari sinematografi yang apik, desain produksi yang rapi, permainan genre, hingga plot twist yang ditawarkan, semua itu sepertinya bisa dijadikan poin-poin kuat untuk memaafkan kedataran kata 'horror' di film ini.

kalimat "the most anticipated Thai horror movie of the year" yang terpampang di posternya mungkin terdengar agak klise dan rancu, namun film ini betul-betul layak ditonton sebagai bukti kepiawaian sineas film Thailand dan bahan pelajaran para sineas film Indonesia di masa mendatang.

Cast: Marsha Wattanapanich
Directed by: Banjong Pisanthanakun & Parkpoom Wongpoom
Country: Thailand
Runtime: 95 min.

read more...

Sunday, August 12, 2007

The Photograph (2007)

setelah melalui penantian yang cukup lama dan diselingi oleh kekhawatiran akan terlewatnya film ini, akhirnya gue berhasil nonton film ini pas liburan kemarin gue balik ke Jakarta. kebetulan tanggal rilis film ini tepat beberapa hari setelah gue tiba di Jakarta. namun sayangnya kayaknya antusiasme para penikmat film Indonesia kurang begitu besar terhadap film ini. baru beberapa hari semenjak peluncurannya, film ini langsung turun layar di sebagian besar bioskop. beruntung gue masih sempat nonton di Blitz Megaplex.

pada dasarnya The Photograph bercerita tentang hubungan dua karakter teralienasi, antara seorang ibu muda bernama Sita yang merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai wanita tuna susila untuk menghidupi keluarganya di desa, dengan seorang fotografer perantau dari China bernama Johan yang terus dihantui masa lalu kelamnya, dan sedang pusing mencari penerus usahanya lantaran masa hidupnya yang tinggal tersisa beberapa waktu lagi.

melalui film ini, bisa disimpulkan bahwa dari sesuatu yang sederhana dapat diciptakan sebuah mahakarya yang hampir sempurna. dari sebuah cerita yang sederhana dapat dikembangkan menjadi sebuah film dengan kualitas teknik yang patut diacungi jempol. sinematografi yang luar biasa menjadi tolok-ukur keberhasilan film ini, selain penampilan terbaik Shanty sebagai Sita, dan aktor Singapura Lim Kay Tong sebagai Johan.

namun sayangnya, terdapat beberapa aspek yang kurang berhasil dan seharusnya bisa dihindarkan, seperti adegan audisi pemilihan fotografer baru yang bermaksud lucu, tapi malah terkesan maksa. juga, chemistry antara Shanty dan Lim Kay Tong di film ini kurang begitu terasa. barangkali karena bahasa Indonesia Lim Kay Tong yang terbata-bata. namun secara individu hal itu malah memperkuat karakter Johan yang misterius, dan Lim Kay Tong adalah aktor watak yang sangat berbakat untuk itu.

secara keseluruhan, film yang didukung juga oleh Lukman Sardi dan duet Indy Barends - Indra Bekti ini pantas mendapatkan tempat di hati para pencinta film Indonesia, terlepas dari beberapa aspek yang kurang berhasil tadi. film ini memberikan kesan melankolis, namun tidak cengeng. bravo untuk Nan Achnas!

Pemain: Shanty, Lim Kay Tong, Lukman Sardi, Indy Barends
Penulis & Sutradara: Nan Achnas

Negara: Indonesia
Durasi: 95 menit

read more...

Monday, August 6, 2007

Tornado at Dunia Fantasi

kayaknya berada di Jakarta selama kurang lebih sebulan gak akan heboh kalo perginya ke mal-mal aja. kali ini gue berkesempatan mengunjungi Dunia Fantasi Ancol untuk mencoba wahana terbarunya yang diberi nama Tornado, selain berbagai atraksi mencengangkan lainnya. dari namanya aja udah pasti terbayang kalau permainan ini bakal mengharuskan para 'korban'nya untuk berteriak-teriak gak karuan.

pada dasarnya, permainan ini cukup seru dan menantang. gimana nggak? sederet manusia dibiarkan duduk tegang terikat, setelah itu perlahan-lahan mereka dibawa naik keatas, dan akhirnya... zap! teriakan-teriakan hebat pun dihasilkan akibat pergolakan seru mesin Tornado tersebut mengayun dan membolak-balik tubuh mereka. tidak hanya itu, semprotan air mancur yang berasal dari bawah pun sukses membuat mereka semua basah kuyup.

saking serunya, gue sampe rela mengantri dua kali untuk permainan ini.

air mancur membasahi para 'korban'

mendaki puncak kenikmatan

ahh! rasakan orgasme yang sangat hebat dan tak terlupakan

seperti biasa, gue bareng temen gue juga berkesempatan menaiki wahana-wahana lainnya seperti halilintar, kicir-kicir, arung jeram, dan lainnya. tapi sayangnya saat itu wahana kora-kora sedang dalam perbaikan. sedikit mengecewakan memang, mengingat tiap kali gue ke dufan sudah pasti harus menaiki permainan yang satu ini sedikitnya 5 kali.

wahana halilintar sedang menunggu 'korban' selanjutnya

hati-hati jangan sampe pacarnya tiba-tiba hilang!

akhir kata, kunjungan gue bareng temen gue ke dufan kali ini sungguh mengesankan, karena kami harus pulang dengan basah kuyup oleh karena siraman air mancur tornado sialan itu. namun sayangnya, kali ini gue gak bisa melakukan kebiasaan gue mengeluarkan suara-suara orgasme pada saat menaiki wahana-wahana seru, oleh karena kali ini gue gak bareng-bareng teman-teman gue biasanya, melainkan hanya seorang gadis manis berumur 13 tahun yang mengharuskan gue jaim setiap saat agar orang tuanya gak menelepon gue jauh-jauh dari Semarang untuk mendamprat gue, sepulangnya anak itu ke kota asalnya tersebut.

read more...

Saturday, August 4, 2007

Plaza Senayan XXI

karena kedua entry terakhir sebelumnya dirasa terlalu baku, kali ini gue pake bahasa yang ringan aja.

kali ini gue berkunjung ke Plaza Senayan XXI, bioskop terbaru yang terletak di Plaza Senayan, salah satu mal eksklusif di bilangan Jakarta Selatan. sebelumnya Plaza Senayan sudah memiliki bioskop bernama Senayan 21, namun seiring berjalannya waktu dan bersamaan dengan kemunculan Blitz Megaplex, pihak 21 mengantisipasi hal ini dengan merenovasi bioskop ini menjadi sebuah bioskop yang lebih berkelas, yang memakan waktu selama kurang lebih 7 bulan.

sebelumnya Senayan 21 memiliki 6 buah studio reguler dan sebuah studio Premiere. kini, setelah merombak habis sebagian gedung parkir Plaza Senayan, Plaza Senayan XXI dibangun ulang dengan nuansa desain dan kesan yang berbeda, dengan 8 buah studio deluxe dan 2 buah studio Premiere.

desain interiornya dibuat sama seperti XXI lainnya, dengan dominasi kayu dan penerangan temaram. hal ini menimbulkan kesan eksklusif dan mahal. terus terang gue lebih suka desain seperti ini, ketimbang Blitz Megaplex yang kesannya berantakan abis.

meskipun ide klasik mendominasi bioskop ini, ternyata kesan futuristik juga dapet tertangkap begitu kita naik eskalator dan bersiap masuk ke dalam lobby. sepuluh buah layar LCD dipajang berderet, menampilkan poster film yang sedang diputar dan yang akan datang. tidak hanya itu, di dalam lobby pun beberapa layar LCD besar menghiasi seisi ruangan dan loket untuk menampilkan jadwal film yang diputar dan trailer-trailer. untuk ini, istilah state-of-the-art memang benar-benar patut disandang bioskop ini.

namun sayangnya, Plaza Senayan XXI belum mengadaptasi design kursi yang digunakan Studio XXI, cabang XXI pertama di Jakarta. tidak seperti pendahulunya yang menggunakan sofa empuk di semua studionya itu, Plaza Senayan XXI masih menggunakan desain kursi yang sama seperti XXI reguler lainnya, seperti di Senayan City, Anggrek, Gading, dan lain-lain. meskipun demikian, bisa dibilang kursi XXI ini masih lebih nyaman dibandingkan Blitz, dengan sandaran yang cukup lebar dan bahan yang cukup empuk.

beralih ke sound dan ukuran studio, liburan kemarin gue berkesempatan nonton di Plaza Senayan sebanyak 2 kali, untuk Harry Potter 5 dan Selamanya. untuk Harry Potter, kebetulan gue dapet studio 2, salah satu yang terbesar di sana. kesan pertama gue adalah, lumayan besar, namun kurang begitu nyaman karena jarak antar kursi kurang curam dan lega, sehingga terasa agak sempit untuk pergerakan kaki kita. namun salut untuk sound, karena studio ini sudah bersertifikat THX, yang berarti kualitasnya tidak perlu diragukan lagi. namun sayangnya, untuk film Selamanya, gue cuma dapet studio 8, yang termasuk studio terkecil di sana (temen gue sampe bilang studionya mirip Metromini). tingkat kecuraman dan kelegaan sama saja, minus sertifikat THX.

secara keseluruhan, kehadiran bioskop ini layak diacungi jempol, bukan hanya karena kenyamanannya, melainkan keberaniannya menyediakan 8 buah studio, salah satu yang terbanyak yang dimiliki oleh jaringan 21. gak hanya itu, untuk menyiasati fasilitas-fasilitas yang disediakan Blitz, Plaza Senayan XXI juga menyertakan smoking room dan the lounge untuk menambah kenyamanan para pengunjungnya. bahkan, kini di hampir semua cabang XXI mulai ditambahkan smoking room juga. memang buat memperbaiki sesuatu harus ada motivasi yang kuat seperti keberadaan Blitz.

lobby: 8/10
design: 8/10
suara: 9/10
kursi: 7.5/10
studio: 8/10

read more...

Thursday, August 2, 2007

Blitz Megaplex

Blitz Megaplex adalah salah satu bioskop terinovatif di Jakarta. bioskop ini baru saja disahkan sebagai bioskop terbesar setanah air oleh Museum Rekor Indonesia. letaknya yang berada di dalam gedung Grand Indonesia membuat Blitz selalu ramai dikunjungi. maklum, belum banyak yang bisa dilihat dari gedung ini, dan sebagian besar pengunjung adalah penonton Blitz.

liburan kemarin saya menyempatkan diri mengunjungi bioskop fenomenal ini sebanyak tiga kali untuk menonton film The Photograph, Alone, dan juga menghadiri workshop LA Lights Indie Movie.

kesan pertama saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di dalam gedung bioskop ini adalah megah dan mewah. bayangkan saja, meskipun sebagian besar ruangannya telah dipakai untuk 11 auditorium tetap saja lobby dan sekitar ruangan bioskop ini masih sungguh luar biasa luas.

nuansa putih dengan sebersit warna merah mendominasi seisi ruangan bioskop ini. konon kabarnya, alasan memakai warna ini adalah karena HSBC-lah sponsor utama pembangunan gedung bioskop tersebut. namun sangat disayangkan, saya kurang begitu tertarik dengan design bioskop ini, karena flownya kurang begitu teratur. di satu sisi, tiket box, candy bar, toilet, studio, beserta game center dan smoking lounge dibiarkan berdesakan, sementara di sisi lain dari eskalator hingga ruang tunggu di luar dibiarkan lapang begitu saja. menurut saya ini adalah sebuah pemborosan tempat.

sebetulnya keberanian pengelola Blitz Megaplex patut dipuji dalam mengucurkan dana sebegitu besarnya untuk gedung bioskop ini. empat buah proyektor dipasang untuk menayangkan trailer-trailer ke empat penjuru tembok gedung, dan juga puluhan layar LCD terpampang mengisi hampir seluruh tembok gedung ini untuk menayangkan jadwal film, poster, dan trailer. juga, dedikasi pengelola untuk kenyamanan para pengunjungnya pun patut diperhatikan juga. dari smoking lounge hingga berbagai sofa untuk menunggu pun disediakan di lobby. oh ya, hampir lupa, pop corn caramel sepertinya juga sudah menjadi trademark jajanan bioskop ini.

saya belum berkesempatan mencoba auditorium 1 dan 2 yang konon katanya adalah auditorium dan layar terbesar se-Indonesia, namun setelah mencoba beberapa auditorium regulernya, saya hanya bisa berpendapat bahwa kursi yang tersedia masih kurang begitu nyaman, meskipun kabarnya design kursi ini berasal dari kursi perusahaan mobil Eropa. sound system pun belum bersertifikat THX. meskipun demikian, saya cukup puas dengan tata cahaya dan sound yang tersedia karena bagaimanapun juga bioskop ini telah memberikan warna lain dalam dunia sinema Indonesia, setelah sekian lama dimonopoli oleh grup 21.

bioskop ini lebih tepat disebut sebagai one-stop entertainment center ketimbang movie theater itu sendiri, oleh karena fasilitas yang tersedia di sini lebih dari sekedar bioskop. bayangkan saja, di dalam gedung tersebut anda dapat menemukan kafe, smoking lounge, dan bahkan warnet dan gamesphere yang menyediakan X-BOX 360 console.

kesimpulannya, kemunculan bioskop ini patut diperhitungkan, oleh karena selain memberi warna baru dalam blantika sinema Indonesia, para pecinta film juga memiliki alternatif tempat menonton baru dan film-film yang lebih beragam, oleh karena Blitz Megaplex tidak hanya menghadirkan film-film mainstream, melainkan jenis film lainnya yang sebelumnya hanya bisa kita saksikan lewat DVD enam ribuan, seperti film Asia dan arthouse. kini para penonton juga lebih dimanjakan lagi dengan cara pembelian tiket lewat internet, selain dengan Blitz Card yang baru saja diperkenalkan beberapa waktu lalu.

lobby: 7/10
design: 9/10
suara: 8/10
kursi: 7/10
auditorium: 9/10

read more...

Wednesday, August 1, 2007

Grand Indonesia

Grand Indonesia adalah sebuah gedung mal terbaru di bilangan Jakarta Pusat yang mengusung tema multifungsi. dibangun tepat di atas tanah bekas kompleks Hotel Indonesia yang legendaris itu, disinyalir gedung mal ini akan menjadi mal terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan Siam Paragon di Bangkok, dengan hotel, office tower, apartemen, dan shopping arcade di dalamnya.

letaknya yang persis di depan Plaza Indonesia, menghasilkan persaingan untuk kedua gedung mal prestisius ini. meskipun demikian, Grand Indonesia belum seluruhnya rampung. yang beroperasi barulah sebagian kecil gedung tersebut, dan hanya ada beberapa toko yang baru buka, termasuk department store kelas atas Seibu dan bioskop terbesar di Indonesia, Blitz Megaplex.

Department Store Seibu

Bioskop Blitz Megaplex yang fenomenal

pemandangan dari lantai atas

karena mal ini ditujukan untuk kalangan menengah keatas, tenant-tenant yang mengisi mal ini pun ditujukan untuk kelas tersebut, seperti counter pertama Channel yang akan segera dibuka, Esprit, Harley Davidson, hingga kedai-kedai makanan favorit seperti Krispy Kreme, Burger King, dan Starbucks.

read more...